Aiia Niha Ni'mah namanya, temanku yang satu ini jago banget buat puisi karya yang di buat oleh nya di kemudian.com cukup mumpuni. Salah satu karyanya adalah “lajang” sebuah cerita singkat, Karya yang patut untuk di acungi jempol, sebuah cerita singkat dalam satu waktu yang di kemas dengan balutan hiperbola yang indah, sebuah cerita yang membangkitkn imaji seseorang...
susunan kata yang cukup apik, membuat cerita ini muncul menjadi sebuah sajak dengan tema cerita yang cukup jelas. Walaupun tanpa sebuah prolog cerita ini mampu memberikan gambaran kita tentang isinya.
Mungkin jika kita membacanya akan terlihat seperti sebuah puisi yang begitu jelas isinya, tapi ini bukan sebuah puisi. Dan dengan ijin si penulis dan tanpa mengurangi serta merubah isinya saya persembahkan karyanya yang menurut saya patut untuk diperhitungkan...hehehehe (moga-moga ja loe bisa jadi)
Inilah karyanya yang berjudul “layang” :
Kekasih, aku hanya ingin kembali menyapamu lewat balutan kata-kata tak beratur dalam suratku ini. Tapi aku tak memaksamu untuk membacanya, sebab aku pun enggan mendapati dukamu kembali terangkat dan membumbung ke langit-langit kamar tidur. Tak apa-apa mulai nanti malam aku terpaksa tidur dalam posisi yang membelakangimu, karena dengan begitu tak ada linang air mataku yang merembes pada bantal dan membangunkan dengkur nyenyakmu. Namun tak perlu kau pedulikan ini. Toh, hati kita sepertinya sedang tak bisa toleransi.
Kekasih, kemarin hujan mendatangi rumah kita lagi. Aku yakin kau bisa mendengar betapa derasnya ia tadi malam, jatuh mengetuki atap hingga mataku tak bisa terpejam tuk melepas kantuk yang telah memenuhi sudut tepinya. Aku tau kau pun tak dapat memejamkan kelopak matamu, meski tak ada gerak putar tubuhmu yang memungkinkan terjadinya tukar pandang antara kau dan aku. Tak mengapa, aku sudah belajar untuk tidak terlalu kecanduan akan acak lembutmu yang biasa kau daratkan ke atas kepalaku. Setidaknya aku sudah mencoba untuk belajar, walau tak ada satu kemungkinan terhidang bagiku untuk menghentikan rasa candu itu.
“Aku suka hujan,” dulu pernah bukan, kututurkan secuat kalimat ini di hadapanmu? Aku masih sangat ingat kala itu tangan kita saling berpegangan erat.
“Aku tak suka hujan,” kau membalasku. Pandang tajam terpancar lurus dari sorot tatapanmu. Mungkin ini pertanda awal tentang keterbedaan besar yang tercipta antara kita. Mungkin juga saat itu seharusnya kita telah sadar betapa takdir terlalu agresif mencatat namaku dalam halaman-halaman terselip hidupmu.
Ah, kekasih, kemarin kucoba untuk mengerat sepotong malam untukmu, lengkap dengan sinar keperakan bulan juga gemerlap bintang gemintang. Sebenarnya aku lebih menyukai senja, ada banyak semburat jinga yang bisa kuberikan padamu andai aku mampu memperoleh sebagian kecil dirinya. Namun ternyata senja lebih dulu hilang, sayangku. Potongannya tak kutemu di angkasa sana, tersisa satu ruang hampa tak bernama. Barangkali ada pasangan lain yang mendahului kita menyayat senja. Barangkali mereka pasangan yang lebih bahagia dan layak mendapatkannya.
Tak apa lah, ini untukmu, sekerat malam dalam genggaman. Maaf, betuknya sangat tak karuan, di sana-sini bahkan dengan gampang dapat kau temui sobekan. Aku tak pernah mahir menggunakan tanganku sekarang. Kau lihat saja, jemariku tumpul. Air mataku telah lancang mengikis tepi-tepiannya. Tetapi kupikir kau tak perlu ambil peduli akan jemari –yang dulu pernah menyelinap ke dasar-dasar romansamu- ini. Sebab lagi-lagi, sayang, hati kita sepertinya sedang tak bisa toleransi.
Maka, adalah paket kecil berisi potongan malam beserta secuil kecil rasa sayang dariku yang kiranya kukirimkan untuk teman sarapanmu tadi pagi. Bungkusnya sengaja kububuhi tinta warna-warni, agar kau berpikiran aku baik-baik saja di sini. Namun aku sungguh tidak memintamu untuk menerima atau bahkan menyimpannya di lemari pajang kamar kita. Lagipula aku sangsi, apa kau tak membenci gambaran malam yang gelap gulita, membutakan apa-apa. Bukankah ujarmu, kita jauh tak sama? Dan aku telah menarik sebuah kesimpulan, bahwasanya apa yang kau katakan itu benar. Artinya setiap benda yang kudamba, itu pula yang kau cerca. Memang ketidaksamaan rasa berbalut egoisme individual ini lah yang telah mengantarkan kita pada akhir kronologi. Itu sebabnya aku menangis. Tapi kuingatkan kembali, kau tak perlu ambil peduli.
Kekasih, adalah nafasku yang kini jatuh satu-satu, mengikuti alur tubuhmu nan kian menjauh dariku. Aku tak tau lagi harus berkata bagaimana di hadapanmu, bukankah jasadmu tak sudi lagi berbalik menatap ke ranjang kita yang tak lagi berpenghuni? Lagipula jemariku kian tumpul, tergerus menepi, tak lagi dapat menghasilkan satu puisi berarti. Tetapi akan selalu ada tapi di setiap sajakku. Tetapi ada tapi yang menyanggah segala keegoisan kita. Tetapi mungkin saja kita pernah ada bersama di masa lalu. Atau juga masa depan, kekasihku. Tapi, ya, kau tau selalu ada tapi untuk ini. Dan tetapi tidak ada kebersamaan kita di masa sekarang ini. Telah terlalu banyak tapi, kekasih. Tapi ini adalah tapi yang paling menyakitkan sudut mataku setiap kali kuteringat itu.
“Aku mencintaimu.”
Mudah sekali, kan, sayang? Tapi haruskah kuingatkan lagi, kau sungguh tak perlu peduli tentang ini.
Sungguh.
“the end”
Tulisan seperti itulah yang saya idam-idamkan untuk bisa saya buat.
Hebatnya sang penulis ini masih berumur belasan tahun dan dia baru saja duduk di bangku SMA. Temanku si empunya tulisan ini sekarang lagi sibuk membuat sebuah cerpen di kediamanya Bantul.
Read the full story
Pengikut